Pada jaman dahulu hiduplah seorang ayah bersama tiga anak perempuannya. Pada suatu tahun, sawah-sawah mengering seluruhnya karena kemarau terus berkepanjangan.

"Wah, kalau keadaan ini terus berlanjut, padi-padi akan mati. Siapa yang bisa mengalirkan air ke sawah ini, akan kuserahi salah satu anak perempuanku."

Sang Ayah berkata-kata sendiri sambil berdiri di pematang sawah. Lantas, terdengar bunyi kecipak air dari arah sungai dan muncullah Kappa.

"Aku akan mengairi sawah-sawah ini. Tapi, apakah kamu benar-benar akan memberikan anak perempuanmu?"

"Ya, kalau bisa mengairi, tolong lakukanlah. Aku akan menyerahkan seorang putriku."

"Baik, jangan lupa janjimu." Kappa tertawa terkekeh-kekeh. Lalu ia kembali ke dalam sungai.

Keesokan paginya, si Ayah pergi ke sawah. Ia terkejut, sawah-sawah telah penuh dengan air. Ayah segera pulang ke rumah. Tetapi saat mengingat janjinya dengan Kappa, ia merasa tidak sampai hati bertemu dengan anak-anak gadisnya. Lalu, ia menyelimuti tubuhnya dengan selimut dan tidur.

Ia tidak bangun meskipun waktu makan telah tiba. Anak gadisnya yang tertua datang membangunkannya.

“Ayah, ayo bangun lalu makan.”

"Aku tidak mau makan.”

“Kenapa tidak makan? Apakah Ayah sedang tidak enak badan?”

Karena anak gadis tertuanya itu bertanya terus-menerus, Ayah lantas berkata, “Aku berjanji akan menyerahkan salah satu anak perempuanku kepada Kappa yang telah mengairi sawah. Ayo kamu jadi pengantin Kappa!”

Mendengar hal ini, si anak gadis tertua berkata, “Tidak! Memangnya siapa yang mau menikah dengan Kappa?”

Ia menyepak bantal lalu pergi tergopoh-gopoh.

“Wah, susah kalau begini….” Ayah menyelimuti tubuhnya dan tidur lagi.

Lalu putrinya yang kedua datang untuk membangunkannya.

“Ayah, ayo bangun lalu makan.”

“Aku tidak mau makan.”

“Kenapa tidak makan? Apakah Ayah sedang tidak enak badan?”

Karena anak gadis keduanya itu bertanya terus-menerus, Ayah lantas berkata, “Aku berjanji akan menyerahkan salah satu anak perempuanku kepada Kappa yang telah mengairi sawah. Ayo kamu jadi pengantin Kappa!”

Mendengar hal ini, si anak gadis kedua berkata, “Tidak! Memangnya siapa yang mau menikah dengan Kappa?”

Ia menarik selimut Ayah dan pergi tergopoh-gopoh.

“Wah, susah kalau begini….” Ayah menyelimuti tubuhnya dan tidur lagi.

Lalu putrinya yang ketiga datang untuk membangunkannya.

“Ayah, ayo bangun lalu makan.”

“Aku tidak mau makan.”

“Kenapa tidak makan? Apakah Ayah sedang tidak enak badan?”

Karena anak putrid ketiganya itu bertanya terus-menerus, Ayah lantas berkata, “Aku berjanji akan menyerahkan salah satu anak perempuanku kepada Kappa yang telah mengairi sawah. Ayo kamu jadi pengantin Kappa!”

Mendengar hal ini, si anak perempuan yang ketiga berkata, “Janji harus ditepati. Aku mau menikah dengan Kappa, jadi ayo makan, Yah!”

Akhirnya ayah bangun dan makan.

Lantas ayah bertanya kepada putrinya yang ketiga ini.

“Aku mau mempersiapkan pernikahan, barang apa yang bagus?”

“Saya ingin membawa seratus wadah dari buah labu, Ayah.”

“Baik, seratus wadah dari buah labu ya.”

Ayah berjalan mengelilingi desa dan mengumpulkan seratus wadah dari buah labu, lalu membungkusnya dengan kain.

Datanglah Kappa yang berupa pemuda untuk membawa anak gadisnya.

Dua kakak perempuannya keuar dan berujar, “Aih, meskipun ia adalah Kappa, ternyata wajahnya tampan.”

Si putri bungsu yang menjadi pengantin ditarik tangannya oleh pemuda yang memikul bungkusan di bahunya.

Setibanya di rawa besar yang ada di balik gunung, si pemuda berkata dengan gembira dan penuh semangat.

“Nah, kita telah tiba di rumah. Ayo masuk ke dalam rawa bersama denganku.”

Lantas si gadis melemparkan bungkusan itu ke dalam rawa dan berteriak.

“Bawakan dulu barang-barang pernikahannya.”

Kappa memberi isyarat ‘itu sih, mudah saja!’ lalu melompat ke dalam rawa dan mulai menenggelamkan wadah dari buah labu itu. Tetapi, kalau wadah yang di sana ditenggelamkan, yang di sini langsung naik lagi ke permukaan. Kalau di sini ditenggelamkan, yang di sebelah sana langsung mengapung ke permukaan.

Pemuda itu berjuang hebat. Eh, tahu-tahu ia telah kembali ke Kappa, sosok aslinya, sambil terus berusaha menenggelamkan wadah dari buah labu itu.

Tetapi wadah itu terus naik ke permukaan. Kappa belum juga berhasil menenggelamkannya.

Kappa merasa sangat kelelahan, lalu menghela nafas dan berkata, “Wah, ternyata memang tidak bisa beristrikan manusia. Bagi Kappa, isteri dari bangsa Kappalah yang paling baik.”

Byur! Byur! Byur! Kappa menyelam ke dalam rawa.

Ayah merasa sangat gembira karena putri bungsunya pulang dengan selamat. Putri busunya itu mewarisi rumah dan sang Ayah hidup denghan tenang sampai akhir hayatnya.

Diambil dari: 12 Cerita Rakyat Jepang dan Musim-musim yang Mengiringinya
By: Shito Naoko